
Takutlah pada Tuhan, Bukan pada Ornamen Jalan
- 24.01.19
- comments
- Novy Eko Permono
- Album ReligiPolitik
- 0
Seakan menjadi menu harian, masyarakat kita disuguhi kegaduhan demi kegaduhan di berbagai media sosial. Kegaduhan tidak bisa dipungkiri seringkali sarat dengan nuansa dan bahasa politik bercampur bumbu agama/Tuhan. Kita kemudian disibukkan oleh beragam drama yang menggenapi mozaik-mozaik dalam setiap alur kehidupan.
Tentu kita masih ingat akan aksi berjilid-jilid sebagai reaksi kasus “penodaan agama” oleh Ahok, eh, maksudnya BTP. Buntutnya adalah Reuni Aksi 212. Pun gaduh pembakaran bendera “tauhid” sehingga memunculkan Aksi Bela Tauhid pada bulan Oktober tahun lalu. Tapi kalau jomlo dihina, kenapa gak ada yang bela yak? Hehe.
Kini tahun telah berganti, tapi kegaduhan tak kunjung reda, justru “dipelihara”. Entah nalar jenis apa yang merasuki, sampai ornamen jalan pun terseret arus politisasi.
Adalah rencana Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) yang akan menggelar Aksi Damai Menolak Salibisasi di kantor Balai Kota Surakarta, Jum’at 18 Januari 2019. Aksi itu dipicu oleh pemasangan ornamen di jalan depan balai kota yang dianggap mirip salib. Setdah, gak sekalian tuh tiang listrik, bukankah itu Kristenisasi yang nyata?
Kegaduhan bernuansa simbol agama sepertinya sudah berada pada level yang tidak sehat lagi karena mengarah pada upaya pembengkokan nalar. Fenomena ini semakin nyata dengan semakin dekatnya pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019 yang disinyalir ada pihak-pihak tertentu yang “memancing di air keruh”. Bentuknya, politisasi isu keagamaan.
Masyarakat awam yang sesungguhnya banyak yang tidak kenal politik, diseret masuk dengan mempermainkan emosi dan sentimen keagamaan. Apalagi kalau aksi-aksi tersebut dilakukan di ruang-ruang publik. Duh, ini kan bisa mengarah pada ((disintegrasi bangsa)).
Ruang publik yang seringkali dijadikan ajang oleh oknum untuk menjajakan isu sara (baca: agama) merupakan pengkhianatan terhadap nalar. Dapat dipastikan ada semacam kerancuan nalar keberagamaan kita, sehingga agama sering menjadi titik sumbu perselisihan dan kegaduhan. Kerancuan nalar ini juga dipicu oleh tren islamisme yang menguat dengan berlindung di balik sistem demokrasi.
Ada dilema yang tidak ringan, memang, ketika membincang agama, karena agama termasuk ranah privat. Sedangkan ruang publik merupakan arena yang tidak beragama. Pemisahan kedua sektor ini seringkali dituduh sebagai “sekuler”, sesuatu yang menghinakan agama.
Padahal nalar keberagamaan harus dihadirkan di ruang publik dalam formula rasional. Contoh sederhana dalam hal ini adalah miras (minuman keras). Seharusnya pelarangan miras di ruang publik tidak didasarkan pada dalil wahyu, tetapi pada berbagai dampak negatif atau argumentasi yang bersifat rasional.
Karena kita harus paham, yang namanya “keyakinan” bersifat privat dan terbatas pada individual atau komunitas agama tertentu. Ketika yang privat dipaksakan hadir di ruang publik, tentu akan menimbulkan resistensi bagi agama lain, atau kelompok lain yang berbeda tafsir keagamaan.
Nah, ruang publik merupakan ruang bersama. Isinya irisan-irisan nilai bersama (kalimat al-sawa’). Ruang publik tidak boleh dimonopoli oleh agama atau kelompok tertentu. Dengan cara berpikir ini, maka penghancuran ornamen jalan itu terasa keliru. Lagipula kalau benar ornamen jalan itu sengaja dibuat menyerupai salib, penganut agama Kristen dan Katholiklah yang seharusnya berdemonstrasi—kalau perlu berjilid-jilid—karena simbol agama mereka setiap hari akan dinjak oleh pengguna jalan. Itu kan penistaan agama. Eaaa.
Oleh karena itulah guys, penting kiranya kita tetap menjaga kewarasan berpikir. Lebih-lebih memasuki tahun politik seperti ini, yang acap kali mempertontonkan ambisi kekuasaan yang bersifat vulgar. Agama sering diperalat untuk tujuan politis. “Bahasa agama” berseliweran dalam ruang publik, bukan dalam bentuk yang subtantif, tetapi retoris dan simbolik.
Ketika dunia politik sarat dengan perilaku korup, di manakah bahasa agama itu? Ketika dunia politik kita penuh dengan caci maki, di mana sesungguhnya klaim keagamaan dimuarakan? Rang publik seharusnya diisi dengan nilai universal agama (amanah, kejujuran, kesejajaran, toleransi, persaudaraan dan yang semisal), bukan diisi dengan simbolisme keagamaan, apalagi politisasi.
Anggapan ornamen jalan sebagai salibisasi atau Kristenisasi, saya kira, merupakan ketakutan berlebihan. Apakah melewati ornamen jalan itu membuat kita auto murtad? Tidak semudah itu, Ferguso. Sebagai penganut agama, kita diajarkan untuk hanya takut kepada Tuhan, bukan pada jabatan, kekuasaan, apalagi sekedar ornamen jalan.
Penting kiranya, di tengah menguatnya polarisasi paham keagamaan masyarakat kita (antara yang puritan dan moderat), kita membangun dan meneguhkan kembali “etika nasional”. Nilai inilah yang menjadi pondasi bersama dalam membangun tata relasi kemanusiaan, dalam semua jenis konteks dan hubungan, yang bersifat mengayomi. Dan, ingatlah kalau Tuhan itu Maha Asyik. Salam.
Share this
About author
Novy Eko Permono adalah pecinta mendoan garis keras asal Wonogiri. Selain aktif di media sosial Facebook, kini dia memutuskan untuk membuat akun Instagram. Bukan untuk memamerkan aktivitasnya, tetapi sebagai jalan menyebarkan dakwahnya bahwa jomlo bukan manusia kelas dua.