• HOME
  • ALBUM RELIGI
  • LAMPAQ
  • MANCANEGARA
  • WEWACAN
  • WARGA
Header Image

  • HOME
  • ALBUM RELIGI
  • LAMPAQ
  • MANCANEGARA
  • WEWACAN
  • WARGA

Menyingkap Hubungan Antara Ipong dan Sepakbola Kita

  • 29.09.18
  • comments
  • A.S. Rosyid
  • OlahragaPolitik
  • 0

Saya punya adik, namanya Ipong. Nama aslinya saya lupa. Dia diberkahi badan kurus dan wajah tampan—mirip Chicco Jerikho dalam versi yang kurang gizi, tidak seperti saya yang berwajah bundar seperti bola. Ipong yang paling mewarisi wajah Mandar dari keluarga Mamak.

Dulu, Ipong pernah kabur dari Pesantren karena tidak betah. Kaburnya dramatis: Ipong meninggalkan surat dan berpesan kalau dia akan “pergi jauh”. Semua orang ribut mencarinya, bahkan hingga ke Bali dan Sumbawa. Padahal, Ipong hanya menginap di rumah tetangga. Intinya, dia berbakat bikin rusuh. Jangan tanya semasa SMA dia sepopuler apa. Dia ketua OSIS. Dia Dilan MAN 2 Mataram 2015 – 2017.

Hari ini Ipong sudah dewasa, sudah kuliah semester 5, dan menjadi ketua orda mahasiswa Mataram di Kota Malang. Ipong juga anak Ilmu Komunikasi UMM pertama yang berhasil menggaet Cokelat Klasik sebagai mitra kerja. Tapi di tengah semua kemegahan itu, Ipong ternyata menderita karena cinta.

Biar saya ceritakan.

Ipong pernah menjalin cinta dengan seorang gadis cantik yang tatapannya sayu, bulu matanya lentik, hidungnya tidak terlalu bangir, dan senyumnya malu-malu. Gadis itu mengingatkan saya pada mbak mantan sering main ke rumah, dan dekat dengan Mamak. Mari kita sebut gadis itu dengan nama inisialnya: L.

Setelah sempat berpacaran sekian lama, Ipong dan L putus. Namun, mereka tetap terlihat dekat. L masih sering main ke rumah. Rupanya adik saya itu berbakat mencintai dengan cara yang selow dan yakin. Memang demikian harusnya cinta. Tapi, hubungan baik mereka itu retak: kini L sedang dekat dengan seseorang.

Ipong patah hati, wankawan. Hubungan mereka jadi tidak selow lagi. L meminta Ipong bersikap biasa saja, karena mereka memang bukan siapa-siapa.

Akhirnya Ipong mengambil sikap: dia tidak sudi (nampak) tersakiti. Setelah ikrar itu, saya melihat ada yang aneh di setoriwasap Ipong. Anak itu “agresif” menunjukkan kedekatan dengan sobat karibnya di Orda Mataram, yang berinisial A. Foto mereka berdua lalu lalang di setoriwasap saya. Saya merasa Ipong sedang mengirim pesan tegas berbunyi: “Aku baik-baik saja.” Menyedihkan sekali adik saya, hahaha.

Terakhir, saya melihat foto setoriwasap Ipong yang paling menggelikan: sebuah gambar ibu jari dan ibu telunjuk menyatu membentuk simbol cinta ala korea (yang mirip simbol duit, karena di Korea cintamu tidak laku kalau tidak punya duit). Ipong? Alay? Serius?

Saya sapa dia: “Masih waras kamu? Masa gegara cewek sampai segitunya?” Tak terduga, Ipong menegaskan bahwa itu bukan tangannya, tapi tangan si L. Dengan menyebalkan, Ipong mengaku bersedih karena sebagai kakak saya berpikir terlalu awam. Alkisah, ternyata hubungan mereka baik-baik saja. Mereka kembali dimabuk cinta.

Lantas, mengapa cinta ingusan ini saya ceritakan? Karena saya menganggap cerita Ipong dan L sebagai kisah homo ludens. Tahu homo ludens? Sebutan untuk “fitrah manusia yang selalu berbahagia karena bermain-main.” Ipong adalah panggung lakon, pertunjukkan jujur dan apa adanya anak manusia yang menghibur dan manusiawi. Lakon Ipong ini, kawan, lebih baik daripada melihat lakon brutal geng superter bola di Indonesia.

Inilah hubungan adik saya dan dunia sepakbola Indonesia.

Saya suka sepakbola level kampung, yang pemainnya anak-anak. Mereka lebih lugu dan lebih berwajah homo ludens. Homo ludens juga mewajah dalam euforia khas nonton bola di warung kopi, tapi tidak dalam euforia sepak bola dan fanatisme identitas klub suporter yang mengundang tumbal, seperti kasus kematian Jakmania yang dikeroyok Bobotoh kemarin.

Bro, identitas suatu kelompok suporter adalah hasil “konstruk sosial”, yang sayangnya dikonstruk lewat pengalaman-pengalaman emosional, bukan edukasi. Identitas itu seringkali diisi dengan narasi permusuhan. Di Kota Malang, lazim ada anak kecil pandai berteriak “Bonek jancok!”. Setiap ke Mojokerto, saya pasti lewat jalur Pacet, dan pernah menemukan anak-anak memilok tulisan “Arema Asu!” di bahu jalan.

Kematian Haringga adalah contoh hilangnya homo ludens dan mandulnya aktor-aktor dunia sepak bola Indonesia dalam membangun narasi perdamaian, padahal mereka semua punya potensi membuat viral pesan-pesan anti-permusuhan. Mereka tidak mencoba mengawal fanatisme suporter mereka. Fanatisme brutal itu disebabkan oleh, dalam bahasa Ridwan Kamil, “ketidakmampuan membedakan lawan dan musuh.”

Dalam konteks ini, ada sedikit sentilan: PKI itu partai, lho. Partai politik, kayak PDI-P, Demokrat, Golkar, PKS, PAN, dll. Mulanya ia adalah “lawan”, tapi adanya narasi permusuhan yang dipropagandakan lewat film, buku, berita satu arah (yang 80%-nya hoax) dan tekanan militeristik, membuat tiga juta orang mereka “boleh” dibantai. Persoalannya bukan PKI salah atau benar, tapi selama keserakahan menjadi nyawa politik kita, tidak ada jaminan sama sekali bahwa kita bukan korban kekejian berikutnya.

Karena itulah, buat saya, kisah Ipong menjadi lebih menarik daripada dunia sepakbola (dan politik) kita. Kisah Ipong lebih homo ludens dan manusiawi.

Oya, saya ini penulis fiksi pada dasarnya. Mudah-mudah kalian tidak mudah percaya pada kisah Ipong dan Lubna—aduh, maaf, saya kelepasan nulis. Anggap saya tidak pernah menyebut namanya ya, lupakan. []

Related Posts

comments
Album ReligiPolitik

Takutlah pada Tuhan, Bukan pada Ornamen Jalan

comments
Politik

Politik Mahasiswa Bukanlah Politik, Melainkan Gerakan

comments
Politik

Mengapa Neno Warisman Tidak Pantas Menjadi Teladan Hari Ibu?

Mengapa Kita Tak Perlu Ribut Tentang Begal dan Nam...

  • 27.09.18
  • comments

Memang Beda Perlakuan Antara Koruptor Lokal Dan Na...

  • 04.10.18
  • comments

Share this

6
SHARE
FacebookTwitterGoogle

About author

A.S. Rosyid
A.S. Rosyid

Pustakawan, Penulis, dan Guru Madrasah.

Related Posts

comments
Album ReligiPolitik

Takutlah pada Tuhan, Bukan pada Ornamen Jalan

comments
Politik

Politik Mahasiswa Bukanlah Politik, Melainkan Gerakan

comments
Politik

Mengapa Neno Warisman Tidak Pantas Menjadi Teladan Hari Ibu?

comments
Politik

Apa yang Anak Muda Bisa Lakukan untuk Menjaga Demokrasi

Kata Kunci

  • bola
  • fanatisme
  • politik
  • sepakbola
  • suporter

Comments

Do not miss

comments
Album ReligiPolitik

Takutlah pada Tuhan, Bukan pada Ornamen Jalan

| TENTANG | KRU | KONTRIBUSI | DISCLAIMER | DONASI |
© Djendela 2018
Got a hot tip? Send it to us!

Your Name (required)

Your Email (required)

Video URL

Attach Video

Category
SportNewsTechMusic

Your Message

LOGIN
Masuk Dengan FacebookContinue with GoogleMasuk Dengan Twitter